Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...
Di satu tempat di Jakarta ada rumah yang bisa dibilang cukup mewah.
Rumah itu adalah kediaman keluarga dr. Juni Tjahjati. Selain sebagai
tempat tinggal, rumah itu sehari-hari dipakai Juni sebagai tempat
praktek. Banyak pasien berobat setiap hari ke sana yang kadang membuat
tukang parkir harus ekstra keras mengatur kendaraan.
Jika kita
berdiri tepat menghadap rumah itu dari seberang jalan tampaklah dua buah
hiasan berbentuk pagar kecil bersusun di atap rumah. Di bagian tengah
pagar besi yang tidak memagari apapun itu terpampang lambang cinta
berbentuk hati dicat warna emas. Lambang itu seperti ingin berkata bahwa
semua aktivitas dalam rumah dan tempat praktek itu didasari oleh cinta.
Tanpa ragu, dokter itu membantu tetangganya yang dioperasi di rumah
sakit. Semua biaya ia tanggung. Hidupnya pun tampak berkah dan berlimpah
rezeki.
Beberapa tahun lalu, seorang laki-laki bernama Mustofa
datang ke rumah itu. Ia menggigil kedinginan. Ia baru pulang dari
Bogor, memenuhi undangan kawannya untuk memancing. Sebuah kecelakaan
kecil terjadi: kakinya tertusuk bambu.
Mustofa adalah tetangga
Juni, sehari-hari berjualan es jus sambil menjadi tukang parkir di
tempat praktek itu. Seorang dokter menanganinya dengan memeriksa dan
memberi obat.
“Waktu itu dokter Juni sedang keluar negeri,” ujar Mustofa.
Pengobatan diberikan kepada Mustofa secara cuma-cuma. Ia dapat kembali
pulang dengan tenang. Tapi seminggu kemudian ia kembali datang karena ia
mulai merasakan sakit yang lebih parah.
Mustofa sulit
menggerakkan mulut dan menelan makanan. Juni yang sudah pulang langsung
memberi pertolongan. Bapak empat anak itu disuntik dua kali, diberi obat
dan disuruh balik lagi beberapa hari kemudian. Menyadari kemungkinan
Mustofa menderita tetanus, Juni melakukan operasi kecil, mengeluarkan
potongan bambu kecil yang tertanam di kaki Mustofa.
Tapi
beberapa hari kemudian, Mustofa semakin parah karena racun tetanus
ternyata sudah menjalar ke tubuhnya menginfeksi syaraf dan ototnya
hingga kaku dan tak bisa digerakkan.
Juni kemudian bertindak
cepat dengan membawa Mustofa ke rumah sakit agar bisa dirawat dengan
fasilitas lebih memadai. Ia tak bisa mengiringi tetangganya itu tapi
mengontak teman-temannya yang ada di rumah sakit agar Mustofa ditangani
dengan baik.
“Jangan ditinggal sebelum Pak Mus dapat ruang inap dan ditangani dokter,” ujar Juni kepada supirnya yang mengantar.
Mobil pun melaju ke RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo) Jakarta. Di
RSCM ada suami Juni, dr. Ismail, seorang ahli Ortopedi, yang sehari-hari
berpraktek dan mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tapi, ternyata., RSCM tak ada ruangan kosong. Mustofa lalu dilarikan ke
RS Persahabatan. Kembali tak ada ruang kosong. Ismail lalu mengontak
koleganya di RS Fatmawati. Ada ruang kosong di rumah sakit itu. Mustofa
langsung dibawa ke sana.
“Sampai di sana, saya langsung
disambut dokter dengan hormat. Sepertinya dokter itu teman baik dr. Juni
atau suaminya, dr. Ismail,” ujar Mustofa mengenang.
Sampai di
Fatmawati Mustofa tak sadarkan diri. Ia dirawat berhari-hari di sana
sampai kesadarannya pulih. Dalam sakitnya itu, Mustofa ditunggui oleh
istrinya.
Setelah beberapa hari di rumah sakit, datanglah
lembar tagihan berobat. Mustofa dan istrinya terkaget-kaget, karena di
situ tertera angka 13 juta rupiah. Tentu saja ia tak memiliki uang
sebesar itu apalagi ia belum pulih benar. Perlu beberapa hari lagi untuk
menginap agar ia bisa pulih sampai sediakala.
Tapi, rupanya,
kecemasan itu hanya terjadi sesaat saja, sebab rupanya dr. Juni sudah
menangung biaya berobat Mustofa. Tak terbilang rasa terima kasih Mustofa
dan istrinya. Apalagi Juni juga turut menjenguk Mustofa dan bahkan
memberi istri Mustofa uang untuk pegangan selama menunggui suaminya
dirawat.
“Saya tak punya uang sepeser pun. Semua biaya
ditanggung dokter Juni. Saya tak tahu berapa jumlah pastinya. Tapi
kira-kira 20 juta rupiah,” ujar Mustofa mengenang sambil terharu.
Mustofa sampai tak habis pikir kenapa ada orang sebaik itu. Ia hanya
tetangga dan bukan saudara. Bisa dikatakan ia juga hidup dari dr. Juni
karena ia berjualan es di depan Praktek dr.Juni, selain memarkir
kendaraan. Ia tak dimintai uang sedikit pun berjualan di depan tempat
praktek itu seperti yang lazim terjadi. Bahkan ia juga tak dimintai uang
listrik, padahal sehari-hari ia memakai listrik untuk blender es jus.
Saat anak nomor tiganya menderita kecelakaan, kembali Juni dengan
ringan membantu Mustofa. Waktu itu, anak Mustofa tertabrak kendaraan
bermotor dan kakinya patah. Kaki anak berusia 6 tahun itu diberi pen
yang diukur sendiri oleh suami dr. Juni. Kembali Mustofa tak membayar
sepeserpun biaya pengobatan itu karena semua ditanggung dr. Juni.
Berkah Sedekah ...
Sekalipun menolak untuk membeberkan lebih lanjut, sedekah memang
merupakan amal yang masyhur dilakukan Juni. Ini diakui pula oleh para
warga di sekitar rumahnya. Tangannya begitu ringan menolong. Kadang ada
kaum dhuafa yang berobat dengan membayar semampunya atau gratis
sama-sekali.
Jika melihat kehidupan Juni yang dilimpahi rezeki
benarlah ungkapan al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 256 yang
menyebut bahwa
... “Perumpamaan orang-orang yang membelanjakan
hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka,
seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh
hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika
hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan
Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” ...
Tempat
prakteknya tampak ramai, membuat rezekinya seakan tidak pernah putus.
Pasien yang berobat di sana juga sangat senang karena diobati dengan
penuh perhatian.
Selain itu, Juni juga memiliki beberapa
kendaraan dan perusahaan yang ia kelola di bidang kesehatan, makanan,
laboratorium, penyewaan gedung, perawatan kecantikan, dan lain
sebagainya.
Dahulu, sebelum meraih semuanya, Juni malah hidup
sederhana; berbisnis salon dan membuka toko sepatu karena ia merasa tak
patut mencari uang berlebih dari pengabdiannya sebagai dokter.
Satu hal yang patut dicontoh adalah Juni tampak enggan untuk
menceritakan itu semua. Baginya itu hal biasa saja. “Kebetulan saya bisa
membantu, ya saya bantu,” ujarnya.
Saat masih menjadi dokter
puskesmas di daearah Jawa Timur tahun 90-an, Juni juga sudah sering
bersedekah. Ia bahkan pernah mengobati pasien yang memerlukan transfusi
darah dengan mengambil darahnya sendiri.
Lagi-lagi jika ada
pasien yang tak mampu dan perlu dirujuk ke rumah sakit, ia bersedia
mengantarkan dengan menggunakan biaya akomodasi dari dirinya sendiri.
Menolong sepertinya sudah menjadi etika utama dokter ini. Semua hal dikebelakangkan dan keselamatan pasienlah yang diutamakan.
“Ada perasaan lega dan senang jika pasien yang kita tolong bisa
selamat, dan bisa berbagi itu merupakan satu kenikmatan sendiri,” ujar
Juni.
Tak hanya itu, Juni juga kerap mengalamatkan sedekah pada
pembangunan masjid. Beberapa masjid sudah ia sumbang. Ada di antaranya
yang dibangun bagi kaum pinggiran di wilayah Tebet, Jakarta Selatan.
Banyak orang yang memiliki penghasilan besar, namun selalu merasa tidak
cukup. Bahkan tidak jarang pengeluaran mereka lebih besar dari
penghasilan yang didapat. Tapi itu tak berlaku jika melihat kehidupan
dr. Juni. Rezeki seperti mengalir deras padanya, dari berbagai jalan,
karena setiap rezeki yang ia dapatkan juga ia sedekahkan kemana-mana.
... “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh
kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat, maka
dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya,
sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” ...
Demikian Allah berkata dalam firman-Nya (Q.s. al-An'am: 160) ..
Jadi, sebetulnya, setiap harta yang kita sedekahkan justru akan kembali
dengan berlipat ganda. Satu dikurang satu sama dengan sepuluh, bukan
nol. Itulah rumus sedekah. Dengan memberi, seseorang akan mendapatkan
lebih banyak, tidak berkurang atau habis. Subhanallah ...
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...[sumber]
Tanpa ragu, dokter itu membantu tetangganya yang dioperasi di rumah sakit. Semua biaya ia tanggung. Hidupnya pun tampak berkah dan berlimpah rezeki.
Beberapa tahun lalu, seorang laki-laki bernama Mustofa datang ke rumah itu. Ia menggigil kedinginan. Ia baru pulang dari Bogor, memenuhi undangan kawannya untuk memancing. Sebuah kecelakaan kecil terjadi: kakinya tertusuk bambu.
Mustofa adalah tetangga Juni, sehari-hari berjualan es jus sambil menjadi tukang parkir di tempat praktek itu. Seorang dokter menanganinya dengan memeriksa dan memberi obat.
“Waktu itu dokter Juni sedang keluar negeri,” ujar Mustofa.
Pengobatan diberikan kepada Mustofa secara cuma-cuma. Ia dapat kembali pulang dengan tenang. Tapi seminggu kemudian ia kembali datang karena ia mulai merasakan sakit yang lebih parah.
Mustofa sulit menggerakkan mulut dan menelan makanan. Juni yang sudah pulang langsung memberi pertolongan. Bapak empat anak itu disuntik dua kali, diberi obat dan disuruh balik lagi beberapa hari kemudian. Menyadari kemungkinan Mustofa menderita tetanus, Juni melakukan operasi kecil, mengeluarkan potongan bambu kecil yang tertanam di kaki Mustofa.
Tapi beberapa hari kemudian, Mustofa semakin parah karena racun tetanus ternyata sudah menjalar ke tubuhnya menginfeksi syaraf dan ototnya hingga kaku dan tak bisa digerakkan.
Juni kemudian bertindak cepat dengan membawa Mustofa ke rumah sakit agar bisa dirawat dengan fasilitas lebih memadai. Ia tak bisa mengiringi tetangganya itu tapi mengontak teman-temannya yang ada di rumah sakit agar Mustofa ditangani dengan baik.
“Jangan ditinggal sebelum Pak Mus dapat ruang inap dan ditangani dokter,” ujar Juni kepada supirnya yang mengantar.
Mobil pun melaju ke RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo) Jakarta. Di RSCM ada suami Juni, dr. Ismail, seorang ahli Ortopedi, yang sehari-hari berpraktek dan mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tapi, ternyata., RSCM tak ada ruangan kosong. Mustofa lalu dilarikan ke RS Persahabatan. Kembali tak ada ruang kosong. Ismail lalu mengontak koleganya di RS Fatmawati. Ada ruang kosong di rumah sakit itu. Mustofa langsung dibawa ke sana.
“Sampai di sana, saya langsung disambut dokter dengan hormat. Sepertinya dokter itu teman baik dr. Juni atau suaminya, dr. Ismail,” ujar Mustofa mengenang.
Sampai di Fatmawati Mustofa tak sadarkan diri. Ia dirawat berhari-hari di sana sampai kesadarannya pulih. Dalam sakitnya itu, Mustofa ditunggui oleh istrinya.
Setelah beberapa hari di rumah sakit, datanglah lembar tagihan berobat. Mustofa dan istrinya terkaget-kaget, karena di situ tertera angka 13 juta rupiah. Tentu saja ia tak memiliki uang sebesar itu apalagi ia belum pulih benar. Perlu beberapa hari lagi untuk menginap agar ia bisa pulih sampai sediakala.
Tapi, rupanya, kecemasan itu hanya terjadi sesaat saja, sebab rupanya dr. Juni sudah menangung biaya berobat Mustofa. Tak terbilang rasa terima kasih Mustofa dan istrinya. Apalagi Juni juga turut menjenguk Mustofa dan bahkan memberi istri Mustofa uang untuk pegangan selama menunggui suaminya dirawat.
“Saya tak punya uang sepeser pun. Semua biaya ditanggung dokter Juni. Saya tak tahu berapa jumlah pastinya. Tapi kira-kira 20 juta rupiah,” ujar Mustofa mengenang sambil terharu.
Mustofa sampai tak habis pikir kenapa ada orang sebaik itu. Ia hanya tetangga dan bukan saudara. Bisa dikatakan ia juga hidup dari dr. Juni karena ia berjualan es di depan Praktek dr.Juni, selain memarkir kendaraan. Ia tak dimintai uang sedikit pun berjualan di depan tempat praktek itu seperti yang lazim terjadi. Bahkan ia juga tak dimintai uang listrik, padahal sehari-hari ia memakai listrik untuk blender es jus.
Saat anak nomor tiganya menderita kecelakaan, kembali Juni dengan ringan membantu Mustofa. Waktu itu, anak Mustofa tertabrak kendaraan bermotor dan kakinya patah. Kaki anak berusia 6 tahun itu diberi pen yang diukur sendiri oleh suami dr. Juni. Kembali Mustofa tak membayar sepeserpun biaya pengobatan itu karena semua ditanggung dr. Juni.
Berkah Sedekah ...
Sekalipun menolak untuk membeberkan lebih lanjut, sedekah memang merupakan amal yang masyhur dilakukan Juni. Ini diakui pula oleh para warga di sekitar rumahnya. Tangannya begitu ringan menolong. Kadang ada kaum dhuafa yang berobat dengan membayar semampunya atau gratis sama-sekali.
Jika melihat kehidupan Juni yang dilimpahi rezeki benarlah ungkapan al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 256 yang menyebut bahwa
... “Perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” ...
Tempat prakteknya tampak ramai, membuat rezekinya seakan tidak pernah putus. Pasien yang berobat di sana juga sangat senang karena diobati dengan penuh perhatian.
Selain itu, Juni juga memiliki beberapa kendaraan dan perusahaan yang ia kelola di bidang kesehatan, makanan, laboratorium, penyewaan gedung, perawatan kecantikan, dan lain sebagainya.
Dahulu, sebelum meraih semuanya, Juni malah hidup sederhana; berbisnis salon dan membuka toko sepatu karena ia merasa tak patut mencari uang berlebih dari pengabdiannya sebagai dokter.
Satu hal yang patut dicontoh adalah Juni tampak enggan untuk menceritakan itu semua. Baginya itu hal biasa saja. “Kebetulan saya bisa membantu, ya saya bantu,” ujarnya.
Saat masih menjadi dokter puskesmas di daearah Jawa Timur tahun 90-an, Juni juga sudah sering bersedekah. Ia bahkan pernah mengobati pasien yang memerlukan transfusi darah dengan mengambil darahnya sendiri.
Lagi-lagi jika ada pasien yang tak mampu dan perlu dirujuk ke rumah sakit, ia bersedia mengantarkan dengan menggunakan biaya akomodasi dari dirinya sendiri.
Menolong sepertinya sudah menjadi etika utama dokter ini. Semua hal dikebelakangkan dan keselamatan pasienlah yang diutamakan.
“Ada perasaan lega dan senang jika pasien yang kita tolong bisa selamat, dan bisa berbagi itu merupakan satu kenikmatan sendiri,” ujar Juni.
Tak hanya itu, Juni juga kerap mengalamatkan sedekah pada pembangunan masjid. Beberapa masjid sudah ia sumbang. Ada di antaranya yang dibangun bagi kaum pinggiran di wilayah Tebet, Jakarta Selatan.
Banyak orang yang memiliki penghasilan besar, namun selalu merasa tidak cukup. Bahkan tidak jarang pengeluaran mereka lebih besar dari penghasilan yang didapat. Tapi itu tak berlaku jika melihat kehidupan dr. Juni. Rezeki seperti mengalir deras padanya, dari berbagai jalan, karena setiap rezeki yang ia dapatkan juga ia sedekahkan kemana-mana.
... “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” ...
Demikian Allah berkata dalam firman-Nya (Q.s. al-An'am: 160) ..
Jadi, sebetulnya, setiap harta yang kita sedekahkan justru akan kembali dengan berlipat ganda. Satu dikurang satu sama dengan sepuluh, bukan nol. Itulah rumus sedekah. Dengan memberi, seseorang akan mendapatkan lebih banyak, tidak berkurang atau habis. Subhanallah ...
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...[sumber]