Sufi Dalam Menahan Marah

Marah adalah suatu sifat yang melekat pada diri manusia. Perlu kita sadari bahwa selama manusia mempunyai kecenderungan atau rasa senang dan enggan kepada sesuatu, maka dia tidak akan sepi dari sifat marah.
Kekuatan kemarahan terletak pada lubuk hati, sebagaimana perwujudan amalan lain yaitu berasal dari hati. Hal inilah yang membuat kita lengah akan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kita sendiri.
          Menurut hujjatul islam Imam Al-Ghazali, hakekat marah adalah seberkas api dari neraka yang menyala-nyala membakar hati manusia. Hal ini terlihat dari diri seseorang yang dalam keadaan marah. Mukanya berubah menjadi merah dan seringkali perkataanya tidak terkendali, sehingga keluar kata-kata kotor dari mulutnya yang akhirnya akan menimbulkan penyesalan dihatinya. Kalau bukan mulutnya, tangannya yang dijadikan alat untuk melampiaskan kemarahannya dengan cara memukul, menampar, bahkan sampai membunuh.
          Banyak sebab yang menimbulkan kemarahan. Diantaranya adalah rasa tinggi hati, takjub pada diri sendiri, bangga diri, bergurau yang berlebihan, omong kosong, dan masih banyak sebab-sebab yang lain yang mnimbulkan kemarahan. Tetapi kita dapat menekan sikap-sikap tersebut melalui beberapa usaha. Tinggi diri dapat ditekan dengan tawadhu’. Takjub dapat direndam dengan menyadari siapa dan berasal dari apa dirinya. Seedangkan bangga diri adalah sehina-hinanya yang hina. Bersebda gurau dapat dihilangkan dengan menyibukan diri melalui aktifitas-aktifitas positif terutama dalam hal keagamaan. Sedangkan omong kosong adalah sifat yang jelek dan cenderung menuju kemarahan. Mengapa tidak diganti saja dengan mempelajari ilmu-ilmu keagamaan atau hal-hal utama yang lai. Sehingga dengan adanya cara-cara diatas kita dapat menekan atau berusaha menundukkan hawa nafsu.
          Nafsu tidak dapat dibunuh. Tetapi kita hanya berusaha untuk mengendalikanya terutama nafsu amarah melalui beberapa latihan. Salah satunya adalah dengan melemahkan gejolaknya. Latihan yang lain dapat dilakukan dengan menyerap visi ketauhidan, bahwa Allah tidak senang bila dirinya dalam keadaan marah . Dengan cara tersebut lambat laun marahnya akan hilang. Jalan yang lain lagi adalah dengan menyibukkan hati melalui prlahiran pemikiran yang bermanfaat, sehingga kemarahan tidak bisa menyalahinya.
          Apakah gunanya mengumbar marah. Itu hanya memperlihat kejahilan belaka dan mengurangi sempurnanya akal. Sebagaimana yang dikatakan ulama bahwa pikiran itu goncang ketikamarah marah bagaikan goncangnya benda bernyawa dalam tungku bernyala. Orang yang kurang amarahnya sempurnalah akalnya.