Menundukkan Api Amarah: Seni Mengendalikan Nafsu dalam Diri

Blogger Kudu - Setiap manusia pasti pernah marah. Tidak peduli tua atau muda, kaya atau miskin, marah adalah bagian dari sifat alami manusia. Namun, marah yang tak terkendali bisa menjadi bencana, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami dari mana datangnya amarah dan bagaimana cara menundukkannya dengan bijak.

Marah adalah suatu sifat yang melekat pada diri manusia. Perlu kita sadari bahwa selama manusia mempunyai kecenderungan atau rasa senang dan enggan kepada sesuatu, maka dia tidak akan sepi dari sifat marah. Kekuatan kemarahan terletak pada lubuk hati, sebagaimana perwujudan amalan lain yaitu berasal dari hati. Hal inilah yang membuat kita lengah akan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kita sendiri.

Menurut Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, hakikat marah adalah seberkas api dari neraka yang menyala-nyala membakar hati manusia. Hal ini terlihat dari diri seseorang yang dalam keadaan marah. Wajahnya berubah menjadi merah, sorot matanya tajam, dan seringkali perkataannya tak terkendali—hingga meluncur kata-kata kotor dari mulutnya, yang akhirnya menimbulkan penyesalan. Kalau bukan mulutnya, tangannyalah yang menjadi alat pelampiasan: memukul, menampar, bahkan—na'udzubillah—membunuh.

Banyak sebab yang menimbulkan kemarahan. Di antaranya adalah rasa tinggi hati, takjub pada diri sendiri, bangga diri, gurauan yang berlebihan, omong kosong, dan masih banyak lagi sebab-sebab lainnya. Namun, kita tetap bisa berusaha menekannya melalui beberapa cara:

  • Tinggi diri dapat ditekan dengan tawadhu' (rendah hati).

  • Takjub terhadap diri sendiri dapat dikalahkan dengan kesadaran bahwa kita hanyalah hamba yang lemah dan berasal dari tanah.

  • Bangga diri adalah kehinaan terselubung, dan bisa dilawan dengan keikhlasan.

  • Gurauan yang berlebihan bisa digantikan dengan menyibukkan diri dalam aktivitas positif, terutama dalam hal agama.

  • Omong kosong lebih baik diganti dengan menimba ilmu atau memperbanyak dzikir.

Perlu disadari, nafsu tidak bisa dibunuh, namun dapat dikendalikan. Salah satu caranya adalah dengan melemahkan gejolak amarah lewat latihan. Latihan tersebut bisa berupa menyerap visi ketauhidan—yaitu menyadari bahwa Allah tidak menyukai hamba-Nya yang dalam keadaan marah. Cara lain adalah menyibukkan hati dan pikiran dengan hal-hal bermanfaat, agar marah tidak punya celah untuk menyala.

Lalu, apa gunanya mengumbar marah? Hanya menunjukkan kebodohan dan menurunkan kesempurnaan akal. Sebagaimana yang dikatakan para ulama, pikiran itu goncang ketika marah, seperti benda hidup dalam tungku yang menyala. Maka, orang yang mampu menahan amarahnya adalah orang yang akalnya sempurna.

Kesimpulan:
Marah memang manusiawi, tetapi menahannya adalah kemuliaan. Orang yang bijak bukanlah yang tak pernah marah, tetapi yang mampu menahan marahnya dengan kesadaran dan keimanan. Mari kita latih diri agar tidak mudah tersulut, dan jadikan amarah sebagai titik tolak untuk memperbaiki akhlak dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.