Bahasa Njombang-an

Oleh : Fathoni Mahsun

Dialek kebahasaan di Jombang sesungguhnya adalah sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati, namun sayangnya fenomena ini kurang disadari. Pelaku budaya  di Jombang sendiri tidak menempatkan dialek bahasa sebagai salah satu garapannya, kebanyakan mereka masih cenderung memperhatikan seni ludruk, besutan, remo, jaran kepang, hadrah dan produk-produk budaya lain yang sudah lazim.
Padahal kalau ditelisik lebih jauh, dialek bahasa nJombang-an merupakan khazanah kekayaan budaya tersendiri. Sebab bahasa sejatinya adalah merupakan puncak dari gunung es kebudayaan. Dalam artian terdapat pijakan budaya yang cukup komplek yang melahirkan sebuah bahasa. Dan menariknya, di Jombang kita akan temukan puluhan dialek bahasa (baca;bahasa Jawa) yang digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Jumlah pastinya, minimal sejumlah kecamatan yang terdapat di Jombang, dan jumlah maksimalnya hampir sejumlah desa yang ada di Jombang.
Mengapa bisa demikian? Karena kita akan temukan bahwa bahasa Jawa diucapkan dengan cara yang berbeda-beda di Jombang. Perbedaan pengucapan tersebut setidaknya dalam dua hal, pada logatnya dan pada kosa kata yang digunakannya. Perbedaan logat ini akan tampak pada ‘masyarakat asli’ sebuah desa. Masyarakat asli dalam pengertian, masyarakat yang jarang berinteraksi dengan masyarakat desa lain. Atau dengan kata lain, masyarakat yang interaksinya lebih sering dengan sesama warga desanya sendiri.
Pada dua desa yang bertetangga, perbedaan tersebut mungkin tidak sebegitu menonjol, tetapi dengan desa  yang berada di lain kecamatan perbedaan pengucapan sudah mulai ditemukan. Perbedaan tersebut dimulai dari perbedaan pengucapan kosa kata. Misalnya, di kecamatan Jombang orang akan mengucapkan tak golék’i, untuk mengatakan ‘saya cari’, tapi di kecamatan Jogoroto –yang notabene bersebelahan- orang akan mengucapkannya dengan tak dolé’i. Selisih pengucapan antara ‘g’ dan ‘d’ ini ternyata tidak hanya terjadi pada kata di atas, namun juga pada beberapa kata yang lain, seperti: gok/ndok (di), nggilok/ndélok (lihat), gorong/durung (belum), dan lain sebagainnya.
Contoh yang lain, di Kecamatan Jombang kita tidak akan temukan orang yang mengucapkan kata kaduan (harus) sebagaimana diucapkan di beberapa desa di kecamatan Diwek, yang ada adalah diucapkan dengan kata kudu. Biasanya pengucapan kata kudu ini intonasinya berfariatif, semakin tinggi intonasinya maka sesuatu yang dimaksud pun semakin mendesak untuk dilakukan. Sedangkan kaduan intonasinya biasanya datar-datar saja, namun lebih sering diucapkan. Bila diinventarisir lebih lanjut, perbedaan-perbedaan tersebut semakin banyak kita temukan. Misalnya, di daerah Ploso dan sekitarnya kita akan temukan kata ték (bila/kalau), sedangkan di daerah lain kata tersebut diucapkan dengan lék. Begitu juga dengan orang Mojoagung yang biasa memakai kata gèméi (beri), dan dimèk ((di)dahulukan), sedangkan di daerah lain dua kata tersebut diucapkan dengan wèi dan disék. Di Perak orang biasa mengucapkan kata cipa’ è (bekas), sedang di daerah lain kata tersebut diucapkan dengan ica’è atau cipété.
    Pada tataran selanjutnya, perbedaan tersebut bukan hanya pada pengucapan kata, namun sudah pada perbedaan kosa kata. Ini biasanya terjadi pada wilayah-wilayah geografis yang berjauhan -untuk menghindari menggunakan kata terpencil-. Semisal di Sumobito dan sebagian Mojoagung, masyarakatnya terbiasa mengucapkan kata gak tayo sebagai bagian dari dialek mereka. Orang yang tidak pernah bersentuhan dengan masyarakat pengguna kata ini, mungkin akan merasa asing mendengar kata tersebut. Padahal kalau mengerti artinya, kata tersebut kurang lebih semakna dengan kata gak maén.
Masih di Sumobito, lebih masuk lagi ke arah utara kita akan temukan ungkapan riko untuk menyebut ‘kamu’. Sebuah kata yang selama ini mungkin hanya kita temukan pada pertunjukan ludruk, ternyata di daerah tersebut menjadi perbendaharaan kata sehari-hari. Sementara itu di Jombang sebelah utara, Ploso, Kabuh dan sekitarnya kita akan temukan penggunaan kata cah. Kata ini lebih dekat maknanya dengan kata yang sama yang digunakan masyarakat Lamongan. Bukan kata cah/bocah yang digunakan di wilayah Matraman (Kediri, Tulungagung, Nganjuk, dll). Contoh penggunaan kata tersebut pada kalimat berikut ‘cuuah.., aku gak lapo-lapo kok diarani’, atau ‘cah..cah, ngunu aé kok murèng-murèng’.

Penyebab

        Apa gerangan sehingga menyebabkan perbedaan-perbedaan tersebut terjadi? Adalah pertanyaan yang menggelitik dan mendesak untuk segera dicarikan jawabannya. Menurut pembacaan penulis, hal tersebut tidak terlepas dari kondisi geografis Jombang yang notabene wilayah agraris. Perbedaan logat biasanya akan terjadi pada desa-desa yang dipisahkan oleh hamparan sawah yang luas, sehingga menyebabkan komunikasi antar desa menjadi terhambat. Hal inilah yang menyebabkan masing-masing desa secara natural membangun keunikan logatnya sendiri-sendiri.
        Keunikan logat yang sudah terbangun tersebut dikemudian hari tidak lekang oleh waktu, meskipun komunikasi dan transportasi antar desa sudah tidak menjadi masalah lagi. Malah sebaliknya, keunikan logat tersebut menjadi identitas primitif dari kultur yang terbentuk secara turun temurun, serta menjadi identitas yang sudah mendarah daging.
Selain itu daerah-daerah perbatasan juga mempunyai problematika tersendiri. Daerah-daerah ini umumnya mempunyai logat sekaligus perbendaharaan kosa kata yang tidak dimiliki di daerah pusat kota. Daerah yang berbatasan dengan Mojokerto misalkan, mempunyai logat yang mirip dengan logat Mojokerto, begitu juga daerah yang berbatasan dengan Lomongan, Nganjuk, dan Kediri.

Budaya di Balik Bahasa


Berdasarkan dari pembacaan tersebut, maka asumsi yang menganggap bahwa Jombang mempunyai satu logat yang sama tidak bisa dibenarkan, meskipun kita juga tidak bisa menganggap bahwa dialek-dialek yang digunakan di masing-masing daerah sama sekali tidak sama.
Namun yang terpenting dan perlu disadari adalah bahwa terdapat keanekaragaman kultur yang banyak di Jombang, di mana hal tersebut di simbolkan dengan banyaknya dialek yang berbeda-beda tersebut. Sebab sebagaimana yang terjadi di Indonesia, kelompok yang berbahasa Jawa tentunya mempunyai budaya yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang menggunakan bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Melayu, dan lain sebagainya. Begitu juga yang terjadi di Jombang, dialek-dialek yang berbeda-beda membawa budaya sendiri-sendiri.
Ketika keanekaragaman tersebut sudah disadari, maka tinggal langkah penyikapannya. Setidaknya keanekaragaman budaya yang ada di balik dialek-dialek bahasa yang berbeda-beda tersebut bisa ditempatkan sebagai salah satu khazanah kebudayaan lokal yang tidak boleh dikesampingkan keberadaannya.
---------------
M. Fathoni Mahsun, Pegiat Budaya Jombang
 [Sumber]