Jidor Sentulan: Jejak Warisan Prajurit Diponegoro

Oleh: Koko Hari Pramono
ASAL -usul kesenian tradisional "Jidor Sentulan" pertama kali muncul pada kisaran tahun 1830-1840. Konon, kesenian ini dibawa oleh salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro pada saat Perang Diponegoro telah berhasil dipadamkan oleh Kompeni. Sekitar tahun 1830. Terbilang banyak prajurit Diponegoro yang tercerai-berai hingga berkelana ke daerah Jawa Barat dan Jawa Timur. Ada kemungkinan salah satu atau beberapa dari prajurit Diponegoro tersebut sempat tinggal atau menetap di Dusun Sentulan atau Desa Bongkot, di mana jenis kesenian ini tumbuh di sini. Dan, seiring bergulirnya waktu, kesenian ini terus bergerak dan sangat digandrungi masyarakat di sekitarnya.

Keunikan kesenian Jidor Sentulan adalah pada penampilan prosesinya. Terdapat juga upacara ritual yang merupakan unsur perpaduan antara Islam dan Dinamisme. Karena pertunjukan ini dibalut oleh unsur musik yang mengusung irama terbang jidor dan dibarengi dengan lantunan suara yang mendengungkan nada salawat.


Pertunjukan ini juga dihiasi dengan aroma wangi kemenyan, yang merupakan ritus transisi dari zaman Animisme ke kepercayaan agama Islam. Kesenian ini merupakan sebuah cermin dalam upaya melihat perkembangan Islamisasi.


Menurut cerita rakyat, Jidor Sentulan merupakan hadiah kepada mempelai yang akan menikah dan hendak masuk Islam. Selain itu, masyarakat juga menggelar kesenian ini untuk memeriahkan acara khitanan.


Jidor Sentulan memiliki keunikan dan cirik has dibanding kesenian lainnya, karena dalam kesenian ini terdapat drama rakyat yang tidak mempunyai judul cerita. Peraga utama di Jidor Sentulan adalah "jepaplok" yang digambarkan dalam bentuk harimau kumbang dengan pencitraan yang dikenal dengan sebutan "kumbang semendung".


Alkisah, cerita drama pertunjukan Jidor Sentulan berawal ketika Mbah Wiroguno sedang berburu binatang di hutan. Di tengah rimba itu dia menemukan anak harimau yang kemudian anak harimau itu diambil oleh Mbah Wiroguno dan diberi nama "Semendung". Hewan peliharaan itu dirawatnya sampai menjadi harimau dewasa.


Ragam alat musik dalam Jidor Sentulan terdiri dari 1 kendang, 3 terbang, dan 1 jidor. Prosesi penampilan jidor sentulan terdiri dari kumbang semendung yang diperagakan oleh 2 orang. Orang pertama memegang kepala si kumbang, sedangkan orang kedua memegang ekornya. Ditambah simbolisasi lainnya yakni kera. Menurut Pak Hartono, kenapa kera yang dimunculkan, hal itu disebabkan hewan ini lebih mudah untuk dicari. Secara pribadi ia ingin menggambarkan harimau itu sebagai raja hutan, dengan asesoris bebulu merak pada kumbang semendung.


Unsur magis sangat kuat dalam pertunjukan ini. Tidak jarang para pemain kesurupan atau
ndadi, sebab dalam diri kumbang semendung terdapat makhluk halus sebagai penunggunya. Ketika kumbang semendung dibanting berarti pertunjukan telah usai. Harus ada ritual, sebelum memainkan kumbang semendung, tetapi kebanyakan orang yang memainkannya tidak melakukan ritual resmi dengan membawa kemenyan.

Ciri khas dari Jidor Sentulan adalah adanya unsur magis yang dibalut unsur Islam yang kental dalam bentuk terbangan dan shalawatan. Jidor sentulan dikatakan jaranan karena terpengaruh alat musik jidornya.


Tidak ada unsur tari asli dalam jenis kesenian ini. Gerak tari para pemainnya lebih mirip dengan gerak pencak silat. Seni ini hanya menggambarkan pertarungan antara kumbang semendung dengan pengembala. Menurut cerita, suatu ketika si macan tidak diberi makan oleh pemiliknya sehingga kelaparan yang pada akhirnya hendak mencaplok pemiliknya.


Lambang-lambang yang terdapat pada kesenian Jidor Sentulang melukiskan sebuah matarantai kehidupan manusia melalui para pemerannya: laki-laki dan perempuan, tua dan muda, besar dan kecil, gelap dan terang, dan siang dan malam. Sedang simbol angka tunggal atau
eka bermakna bumi atau Tuhan. Pemilihan simbol angka lima mengacu pada kepercayaan tradisional Jawa, yakni keblat papat lima pancer yang berujud garis lingkaran abadi tanpa awal dan akhir yang mengacu kepada Sang Hyang Tunggal (Tuhan).

Kini, sejauh mana jenis kesenian ini berkembang, tentu khalayak umum jarang mendengar atau menanggap dan mengapresiasinya. Meski demikian, Pak Hartono, yang dilahirkan pada 1951 di Jombang, yang juga pernah berkuliah di STSI Surakarta, masih tetap mencintai dan melestarikan warisan prajurit Diponegoro ini. [
sumber]