2014 Indonesia Bebas Anak Jalanan, Mungkinkah

SIANG hari itu, perempetan Jalan Otista, Jatinegara, Jakarta Timur, terlihat seorang anak yang berkulit agak hitam legam berambut panjang, berwarna agak kekuning-kuningan dengan model rambut belahan pinggir, memakai baju usang dan celana jins yang dipotong tidak sama panjang.

Tangan kiri anak itu memegang ukulele, sedangkan jemarinya memencet-mencet senar. Jari-jari tangan kanannya pun nampak lihai bergerak memainkan senar. Terdengar nyayian dengan suara agak serak dan dentingan ukulele yang khas. Dia bernyanyi di angkot yang sedang berhenti mencari penumpang, di dalamnya terdapat dua orang penumpang yang sedang asyik mengobrol tanpa memperdulikan nyayian anak tersebut.


Tepat di seberang jalan di sebuah pelataran toko terdapat beberapa anak lagi. Sebagian dari mereka nampak duduk-duduk sambil mengobrol atau bercanda dengan temannya. Ada juga dari mereka yang tiduran. Anak-anak tersebut seperti sedang beristirahat ataupun berteduh dari panasnya matahari pada siang hari itu.

Melihat sepintas keadaan mereka dan reaksi orang-orang yang tak menghiraukan keberadaan mereka, saya langsung terbersit di pikiran beginilah nasib anak jalanan (anjal) di kota besar. Mereka ini mungkin tidak seberuntung anak-anak yang dapat bersekolah, setiap hari mendapat pelukan kasih dan sayang orantua.

Bagi anjal, rumah mereka di mana saja yang memungkinkan untuk berteduh dan membaringkan tubuh dari kerasnya kehidupan kota Jakarta. Seperti pepatah, langit sebagai atap dan bumi sebagai alasnya. Orangtua anjal, entah ada dimana.

Ya, ironis memang membicarakan nasib-nasib generasi bangsa yang terabaikan ini. Padahal, sentar lagi negara ini akan memasuki usia yang ke-66 tahun, berarti negara ini sudah tidak muda lagi. Namun permasalahan fakir-miskin, dan anjal belum mengecap manisnya kemerdekaan.

Bila melihat UUD 1945, sebenarnya para pendiri negara ini sudah memikirkan nasib kalangan terpinggirkan. Hal ini tertuang pada UUD 1945 pasal 34 ayat 1, “Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara”. UUD 1945 juga dipertegas dengan adanya UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Tapi dalam praktiknya apakah UUD 1945 pasal 34 ayat 1 dan UU No. 23 Tahun 2002 ini masih berlaku apa tidak?

Kebanyakan para anjal hidup di kota-kota besar, seperti DKI Jakarta yang notabennya sebagai kota pusat bisnis dan pemerintahan. Data Dinas Sosial DKI Jakarta mencatat pada 2010 ada sebanyak 8.000 orang anjal.

Namun data Komnas Perlindungan Anak menunjukkan angka yang lebih besar sebanyak 12.000 orang. Itu data tercatat, belum mencerminkan jumlah anjal di lapangan sebenarnya yang mungkin lebih banyak lagi.

Persoalan anjal ini terutama di kota-kota besar bisa dibilang sudah menjadi masalah klise yang hingga kini belum terselesaikan. Sejumlah, program dengan kucuran dana tak sedikit dari APBN maupun APBD belum juga menampakan hasil. Anak-anak yang turun ke jalan kian banyak sehingga menambah panjang persoalan.

Tabungan Anjal

Kali ini  Kementerian Sosial (Kemensos) kembali menargetkan 8.000 anjal di Jakarta mendapat tabungan Rp1,4 juta per orang hingga akhir tahun 2011. Untuk selanjutnya, ditargetkan sampai 2014, seluruh anak jalanan di Indonesia akan merasakan hal yang sama.

Program ini sudah berjalan dari 2010 lalu. Untuk tahap pertama sudah ada 4.500 anak jalanan di DKI yang terkaver program ini. Tabungan anjal ini akan diberlakukan nasional untuk mengantisipasi anjal menggeruduk Jakarta. Sebab, selama ini Jakarta menjadi magnet bagi anjal dari berbagai daerah untuk mengais rezeki yang jumlahnya terus bertambah.

Kabid Yan Rehsos Dinas Sosial DKI Jakarta Sri Winarni mengatakan, kebanyakan anjal datang dari luar Jakarta. “Anjal cenderung semakin hari kian bertambah. Mereka melihat karena gampangnya mencari uang di Jakarta,” ungkapnya kepada okezone, baru-baru ini. 

Dia menambahkan para anjal ini tidak mengerti bahaya hidup di jalan. Mereka hanya berpikir kalau hidup di jalanan bebas dan tidak ada aturan yang melarang. “Para anjal sangat rawan terkena kejahatan eksploitasi anak, dan tidak terpenuhinya hak-hak terhadap mereka. Hal itu disebabkan mereka hidup di jalan,” papar Sri.

Sampai saat ini mereka masih banyak berkeliaran di jalan, jiwa, raga, psikis, dan haknya terancam oleh kerasnya hidup jalanan. Ya, begitulah nasib anjal yang hidupnya selalui dibayangi bahaya. Semua berharap tabungan anjal ini bukan program muluk-muluk yang hanya menghambur-hamburkan anggaran. Tetapi menjadi program yang benar-benar mengangkat mereka dari jalanan. Kemudian meretas jalan bagi anjal untuk membuka pintu kehidupan baru yang lebih beradab dan berderajat layaknya manusia.

Sebab itu, program tabungan anjal yang akan mengembalikan mereka ke jalur pendidikan harus diimplementasikan melalui pendekatan khusus, tetap sasaran, dan tentu pengawasan ketat dari berbagai pihak. Banyak pengalaman dana sosial pun  tak luput dari "gaya sunat" koruptor. Toh, anjal ini adalah anak-anak bangsa yang punya hak hidup layak dan masa depan lebih baik. Dalam hal ini, negara yang diamanati konstitusi untuk bertanggung jawab penuh atas nasib anjal agar tidak selamanya hidup di jalanan.
(ram). [sumber]