Membumikan Icon Jombang

Oleh : Dian Soekarno (Pimpinan Sanggar Tari Lung Ayu, Sengon, Jombang)
Besut         : “Dhiikkk…, dhik Rusmini, dhiikkk…!”
Rusmini     : “Enek aaapa Cak Besut..?”
    Cuplikan dialog di atas sangat akrab di telinga kita, khususnya bagi para pegiat teater di kabupaten Jombang. Sebuah keakraban dan romantisme ala Jombang begitu kental dalam atmosfer pementasan teater terbuka. Kondisi ini sangat mungkin tidak kita jumpai di daerah lain, apalagi bagi wilayah yang jarang atau bahkan tidak pernah bersapa mesra dengan seni pementasan teater. Inilah barangkali secara massal masyarakat Jombang mengamini bahwa seni pertunjukan teater Besutan adalah ikon Jombangan yang tidak bisa ditawar lagi.
    Mengapa Besutan yang menjadi ikon? Ini tidak lepas dari asal kesenian ludruk yang berakar mula dari seni Besutan. Tidak sedikit pegiat seni Besutan yang juga pemain ludruk mengakui jika Besut telah menjadi purwarupa (prototype) warga Jombang. Sehingga ada simpulan sambil lalu yang mengerucut ; untuk mengetahui jiwa dalam kemasan watak, watuk, wahinge orang Jombang bisa dilihat dari seni Besutan.
    Semangat berbesutan sebagai ikon sebenarnya telah lama bergulir. Catatan sejarah membuktikan jika pegiat seni budaya Jombang bahkan melakukan ekspresi kulminasi ikon Besut  dalam setiap kurun waktu. Seperti yang dilakukan oleh almarhum Cak Yadi Besut, almarhum Pak Gondo dikbud dan lain-lain. Termasuk yang digagas oleh MS Nugroho lewat Komunitas Alif nya, dan Cak Inswiardi salah satu networker kebudayaan Jombang dalam musyawarah besar kesenian Jombang pada 2004 lalu. Masing-masing simpul kebudayaan Jombang sepakat bahwa Besut dan Rusmini (pacar/istri Besut) memang pantas menjadi ikon Jombangan.
    Seperti guliran bola salju yang semakin lama terus membesar. Upaya untuk ngopeni Besut sebagai ikon kian marak. Kini tidak hanya seniman budayawan Jombang yang berteriak menyelamatkan Besutan. Pemerintah daerah yang dipersonifikasikan jajaran dinas dan kantor pun mulai cancut tali wanda saiyeg saeka kapti (pen.=secara bersama dalam satu tujuan bergerak menyelamatkan) menjadikan Besut tetap lestari terpatri di sanubari wong Njombang. Bukti-bukti itu antara lain bisa disaksikan pada pameran produk unggulan Jombang bertajuk Gelar Potensi Jombang (GPJ) sengaja memasang foto Besut sebagai ikon, acara wisata grebeg apem setiap awal bulan puasa menggunakan prajurit Besut, jajaran dinas pendidikan kabupaten Jombang, dinas pemuda, olahraga, budaya dan pariwisata kabupaten Jombang, dinas kesehatan, rumah sakit umum daerah swadana Jombang adalah contoh-contoh instansi yang tumakninah menggunakan besut sebagai ikon.
    Fakta-fakta di atas sekaligus menjadi bukti bahwa Besut masih diupayakan tetap abadi di bumi Jombang. Hanya saja langkah tersebut hendaknya tidak berhenti begitu saja. Harus ada niatan yang padu dari seluruh komponen di kabupaten Jombang. Misalnya bagaimana tindakan-tindakan penyelamatan lewat penulisan buku Besutan, memperbanyak naskah Besutan untuk pementasan teater pelajar, termasuk mendokumentasikan varian-varian Besutan sebagai kekayaan folklore (tradisi kolektif) milik masyarakat Jombang. Kalau ini dilakukan, maka satu langkah maju telah diayunkan dan bibit berseni budaya sebagai mata rantai peradaban telah disemaikan. Alhasil siapapun yang bersinggungan dengan Jombang akan terkesan dengan ikon Besut yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk karena hujan.
    Sebuah ikon menurut saya akan lestari dan tetap abadi ketika setiap pribadi yang mengaku wong Njombang tidak gagab budaya dan sangat antusias menceritakan Besutan yang menjadi symbol kearifan lokalnya. Sebagaimana orang Banyuwangi dengan seni gandrungnya, orang Ponorogo lewat reyogannya, orang Probolinggo dengan tarian glipangnya, dan masih banyak lagi.
    Patut disayangkan memang, karena di satu sisi seni Besutan yang terus diusung banyak pihak mewakili karakteristik  Njombangan seolah mati kutu pasca musyawarah besar kesenian Jombang tahun 2004 silam yang merekomendasikan agar di setiap pintu masuk dan lokasi strategis di kabupaten Jombang didirikan monumen Besut seperti patung reyog di Ponorogo dan ikon-ikon daerah lain. Tetapi di kabupaten Jombang tidak menerapkan. Ini barangkali menurut istilah lokalnya sendhakep awe-awe (tidak serius) menempatkan sebuah ikon. Dinas pertamanan kabupaten Jombang dalam hal ini perlu sedikit mendengar dan melihat apa yang dilakukan oleh dinas lain yang gencar mengangkat ikon Besutan. Apakah keberadaan patung Besut itu sangat membebani anggaran? Sedangkan apa arti anggaran yang dialokasikan jika dibandingkan nilai penting sebuah ikon.
    Tugas bersama menyelamatkan ikon dan jatidiri sudah terpampang di depan mata. Besutan dengan tokoh sentralnya Besut dan Rusmini adalah perwujudan egaliter (keterbukaan) masyarakat Jombang terhadap masukan maupun paham-paham yang membangun. Akankah Besut Jombang hanya indah di balik catatan? Atau sebaliknya menjadi kekayaan abadi yang membumi (menyatu) dengan hajat hidup masyarakat Jombang? Lagi-lagi terserah kita…